GEOPOLITIK DAN HUKUM KEWILAYAHAN
Hukum Laut dan
Perkembangannya
Perkembangan Sejarah hukum
laut tidak lepas dari kemajuan teknologi maritim—perkapalan dan kepelabuhanan—Belanda
dan Inggris serta orientasi komoditi perdagangan dunia (Simbolon, 1995). Pasca Perang Sabil/Salib sampai dengan bagian
akhir jaman pencerah-an (renaissance) laut praktis hanya menjadi milik Spanyol
dan Portugal,
sehingga ada semacam pembagian wilayah yuridiksi dari kedua negara
tersebut. Bagian akhir
jaman pencerahan (renaissance), tekno-logi maritim Belanda dan Inggris melampaui
Spanyol dan Portugal. Oleh karena itu hukum
laut banyak ditentukan oleh polemik bangsa Belanda dan Inggris.
Namun sebelum membahas polemik yang
menghasilkan regim hukum laut, ada baiknya kita bahas lebih dahulu hakekat
laut. Hakekat laut adalah :
1.
Bebas,
merdeka dan bergerak serta relatif tetap dan tidak mudah dirusak.
2.
Datar dan terbuka, tidak dapat dipakai sembunyi.
3.
Tidak dapat dikuasai secara mutlak (tidak dapat
dikapling, sulit diberi tanda).
4.
Media
macam-macam alat angkut, terutama yang bervolume besar.
Dari
hakekat tersebut timbul falsafah hukum laut yang berbuntut pada perebutan
wilayah laut, yakni :
1.
Res
Nullius : Laut tidak ada yang memiliki, oleh karenanya dapat diambil dan
dimiliki masing-masing negara.
2.
Res
Communis : Laut milik masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat
diambil/dimiliki oleh masing-masing negara.
Belanda dan Inggris merasa bahwa mereka tidak harus
tunduk pada negara yang lebih “primitif”.
Oleh karena itu para ahli hukum dari kedua negara tersebut saling
berpolemik mengeluarkan argumentasi ten-tang hak atas laut.
1.
Hugo
Grotius, seorang ahli hukum internasional Belanda membe-rikan teori “Mare
Liberum” (laut bebas). Laut tidak dapat
dikuasai suatu negara dengan jalan “okupasi” (menduduki), oleh karena itu laut
menjadi bebas.
2.
John
Selden, seorang Inggris seorang ahli hukum Inggris pada tahun 1635 menulis
tentang hukum laut dengan judul, “Mare Clausum” (hak kuasai laut), sebagai
jawaban atas teori Grotius. Setiap
negara dapat menguasai laut.
Sebagai koreksi atas tulisan tersebut diatas, Grotius
membuat argumen bahwa, laut wilayah dapat dimiliki sepanjang dapat dikuasai
dari darat. Ini berarti laut hanya milik
negara pantai. Selanjutnya Selden menginginkan
adanya hak lintas damai bagi kapal-kapal dengan alasan untuk membeli suplai
segar dari negara pantai
Cornelis Bijenkershoek (seorang Belanda), berpendapat
bahwa laut wilayah adalah 3 mil laut dari pantai pada saat pasang surut. Ar-gumentasi ini didasari bahwa jangkauan
meriam + 3 mil. Ketentuan ini
berlaku hingga tahun 1994 yaitu dengan adanya pengesahan melalui Sidang Umum
PBB, yang merupakan tindak lanjut dari United Nations Convention on the Law of
the Sea—dikenal UNCLOS 1982—berda-sarkan persetujuan 118 negara di Montego Bay, Jamaica tahun 1982.
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
Dekla-rasi tanggal 13 Desember 1957 mengajukan
NKRI perlu laut wilayah (territory water) selebar 12 mil laut dari Garis
Pangkal/Garis Dasar (Base Line) atas dasar “Point to point theory”. Dengan demikian laut antar pu-lau menjadi
Perairan Pedalaman (internal waters).
Selanjutnya laut wilayah dan laut pedalaman dikenalkan sebagai laut
Nusantara.
Sebagai
akibat konvensi hukum laut timbul bermacam tipe per-airan, hal ini tidak
terlepas karena perhatian orang yang besar pada laut. Untuk itu dibahas beberapa masalah yang
menyangkut hukum laut :
1.
Laut
Teritorial/Laut Wilayah (Territorial
Sea) : wilayah laut yang
le-barnya tidak melebihi 12 mil dari garis pangkal/garis dasar (base
line). Garis dasar adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau terluar.
2.
Perairan
Pedalaman (Internal waters) : wilayah laut sebelah dalam dari da-ratan/sebelah
dalam dari GP. Negara pantai mempunyai
kedaulatan penuh.
3.
Zona
Tambahan (Contiguous Zone) : wilayah
laut yang lebarnya ti-dak boleh melebihi 12 mil dari Laut Teritorial, merupakan
wilayah Negara Pantai untuk melakukan pengawasan pabean, fiskal, imi-grasi,
sanitasi dalam wilayah laut territorial.
4.
Zona
Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) : wilayah laut yang tidak melebihi 200 mil dari GP. Negara yang bersangkutan mempunyai hak
berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploi-tasi, konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati perairan.
5.
Landas
Kontinen (Continental Shelf) : wilayah laut Negara Pantai meliputi dasar laut
dan tanah di bawahnya, terletak di luar laut teritorial sepanjang merupakan
kelanjutan alamiah wilayah. Jarak 200
mil GP atau maksimal 350 mil, atau tidak melebihi 100 mil dari kedalaman 2.500
m.
6.
Laut
Lepas (High Seas) dikenal pula sebagai laut bebas/laut Inter-nasional : Wilayah laut > 200 mil dari Garis Pangkal.
Dengan adanya ketentuan di atas negara lain menuntut
beberapa hak—yang sebenarnya adalah jaminan—dari negara kepulauan :
1.
Lintas
: berlayar/bernavigasi melalui laut
territorial, termasuk masuk dan keluar perairan pedalaman untuk singgah di
salah satu pelabuhan.
2.
Lintas
Damai : bernavigasi melalui laut teritorial suatu negara sepanjang tidak
merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamananan negara yang bersangkutan.
3.
Lintas
Transit : bernavigasi melintasi pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional antara laut lepas/ZEE yang satu dan laut lepas/ZEE yang lain.
4.
Alur
Laut Kepulauan :
a.
Alur
yang ditentukan oleh Negara Kepulauan untuk alur laut dan jalur penerbangan
diatasnya yang cocok digunakan untuk lintas kapal dan pesawat terbang asing.
b.
Alur
ditentukan dengan merangkai garis sumbu pada peta, kapal dan pesawat terbang
tidak boleh melintas lebih dari 25 mil kiri/kanan dari garis sumbu
5.
Laut Lepas :
a.
semua
bagian laut yang tak termasuk laut territorial, perairan pedalaman maupun ZEE.
b.
laut terbuka untuk semua negara baik berpantai maupun
tidak berpantai.
c.
dalam
laut lepas semua negara berhak berlayar, terbang, riset ilmiah dan menangkap
ikan.
Beberapa
Perhatian Manusia Terhadap Laut
1.
Perubahan
peta bumi pasca Perang Dunia II telah lahir banyak nega-ra nasional baru yang
miliki laut.
a.
laut
untuk kelangsungan hidup bangsa dan kesejahteraan rakyat.
b.
perlu pengaturan bersama pemanfaatan laut dan lingkungan
un-tuk bangsa-bangsa.
2.
Kemajuan Teknologi berdampak pada meningkatnya kemampuan manusia memanfaatkan
laut
3. Bertambahnya jumlah penduduk, harus diimbangi
dengan kenaikan produksi, khususnya dari sumber kekayaan laut.
4. Bagi bangsa Indonesia, laut untuk menjamin
integrasi, sarana perhu-bungan dan transportasi, menjadi salah satu sumber
penghidupan, serta ditinjau dari segi militer merupakan wahana pertahanan.
Hukum Dirgantara dan
Perkembangannya
Ruang
dirgantara dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ruang Udara dan Ruang Antariksa.
Ruang udara berada di atas suatu wilayah Negara dikatagorikan sebagai ruang
Udara Nasional atau wilayah kedaulatan Negara kolong, yang pemanfaatannya
dikendalikan oleh Negara tersebut. Adapun Ruang Antariksa pe-manfaatannya
diken-dalikan secara internasional dan tidak boleh dijadikan subyek negara
kolong.
Beberapa teori yang menjadi polemik
para hukum adalah :
1.
Teori
Udara Bebas (Air Freedom Theory). Bahwa
ruang udara be-bas, dapat digunakan siapa saja, timbul perbedaan persepsi :
kebebasan udara tanpa ba-tas dan
kebebasan udara terbatas.
2.
Teori
Negara Berdaulat di Udara (Air Sovereignty Theory). Bahwa Negara kolong berdaulat penuh tanpa
batas keatas, timbul perbedaan persepsi : kedaulatan negara kolong dibatasi oleh ketinggian ter-tentu,
negara kolong berda-ulat penuh tetapi dibatasi
oleh hak lintas damai.
3.
Masalah
Ketinggian. Sampai kini masih belum ada
kesepakatan (1910) ditentukan + 500 km.
Teori Penguasaan Cooper, bahwa batas ketinggian ditentukan kemampuan
teknologi masing-masing negara. Sedangkan Teori Udara Schacter, bahwa
ketinggian s/d 30 km atau s/d balon dan pesawat terbang dapat mengapung dan
diterbangkan.
4.
Batas
Wilayah Udara. Cara menentukan wilayah
udara ada perbe-daan yaitu : apabila ditarik garis tegak lurus dari permukaan
bumi keatas, luas daratan dan lautan = luas udara, ada daerah yang lowong dan
dapat menimbulkan masalah. Disepakati menarik garis dari “pusat bumi” sampai
batas ruang angkasa/antariksa membentuk kerucut terbalik. Oleh karenanya luas daerah udara lebih luas
dari-pada luas daratan dan lautan.
5.
Perjanjian
Ruang Antariksa (Space Treaty) 1967 menyepakati :
Penggunaan
damai bagi antariksa. Antarariksa dan
benda-bendanya menjadi wilayah internasional.
Namun dalam perjanjian ini juga berlaku pemanfaatan ruang antariksa berdasarkan
“first come, first serve” yang merugikan negara sedang berkembang. Indonesia
memi-liki ruang dirgantara yang luas, apalagi di bawah Khatulistiwa yang
memiliki jalur GSO. Sementara batas
ruang udara dan ruang anta-riksa ditetapkan 100/110 km.
Seperti halnya dengan hukum laut Indonesia juga
menuntut perla-kuan yang sama seperti hukum laut. Dalam hal ini Indonesia menuntut berlakunya
kedaulatan Negara kolong terhadap ruang Dirgantara. Paling sedikit tujuan yang
ingin dicapai ialah ruang udara Indonesia
sebagai wilayah udara (air
souverignty) nasional dan ruang antariksa Indonesia sebagai wilayah kepentingan (air juridiction) yang diperlakukan serupa
dengan ZEE atau landas kontinen, yang meliputi pemanfaatan wilayah
Geo-stationary Satelite Orbit (GSO), Medium Earth Orbit (MEO), Low Earth Orbit
(LEO).
Geo Stationary Satellite Orbit (GSO)
Geostationary satelit orbit adalah suatu orbit yang
berbentuk cincin terletak pada enam radian bumi di atas garis
khatulistiwa. GSO untuk menempatkan
satelit komunikasi agar satelit tersebut berada pada posisi tetap di ruang
angkasa terhadap bumi. Ketinggian GSO +
36.000 km di atas permukaan bumi. Tiga
keunikannya :
1.
GSO
hanya pada padang
khatulistiwa, ruas GSO ada di negara khatulistiwa.
2.
Ukuran
terbatas : tebal + 30 km dan
lebar 150 km.
3.
Satelit
pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari barat ke timur dengan masa orbit +
24 jam (23 jam, 56 menit, 4 detik).
Panjang garis
khatulistiwa Indonesia
6.110 km, GSO Indonesia 9.997 km atau 12,5 % keliling GSO. GSO menjadi Sumber daya alam terbatas
Wilayah Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
1.
Masa Penjajahan
(Belanda dan Jepang).
Dasar : Ordonansi Laut Teritur dan Lingkungan Maritim
no 442/1939 (Territoriale Zee en
Maritiem Kringen Ordonantie no. 442/1939)
Ukuran : 3 mil dari garis pantai pada
saat pasang surut (low water)
Luas Wilayah : + 2 juta km2
2.
Setelah
Proklamasi s/d 13 Desember 1957
Dasar : Ketentuan Peralihan UUD 1945, Konstitusi RIS,
UUDS 1950, tetap berlaku Ordonansi no 442/1939.
3.
Deklarasi Pemerintah R.I. tanggal 13 Desember 1957 (Deklarasi
Juanda)
Dasar : Pengumuman Pemerintah RI
tanggal 13 Desember 1957
PEPERPU no 4/1960 tentang Perairan Indonesia
Ukuran : 12 mil dari garis pangkal (point to point theory)
Luas Wilayah: bertambah + 3,9 juta km2,
menjadi 5,9 juta km2
4. Deklarasi
Pemerintah R.I. tanggal 17 Februari 1969 (Landas Kontingen)
Dasar : Deklarasi Pemerintah RI
tanggal 17 Februari 1969
UU
no 1/1973 tentang Landas Kontingen
Luas Wilayah : Bertambah +
0,8 juta km2, menjadi + 6,7 juta km2
5.
Pengumuman Pemerintah R.I. tahun 1980 (Zona Ekonomi Eksklusif)
Dasar : Pengumuman Pemerintah tentang Zone Ekonomi
Eksklusif
UU no 5/1983 tentang Zone Ekonomi Ekslusif (Pembenahan Kekayaan
Alam dan Potensi Alam) Luas Wilayah
: Bertambah + 2,5 juta km2,
menjadi + 9,2 juta km2
Komentar
Posting Komentar