Res-publica

Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.(sumber)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISI PASAL 28A-28J UUD 1945 TENTANG HAM

PENGGOLONGAN HUKUM

WILAYAH NEGARA