PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA

Apabila berbicara tentang sistem pemerintahan tanpa membicarakan pula tentang pembagian kekuasaan, maka akan memunculkan kepincangan karena sistem pemerintahan  sebagai suatu totalisas dari komponen legislatif, eksekutif dan yudikatif yang memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Dalam penulisan ini tidak menggunakan istilah pemisahan kekuasaan tetapi pembagian kekuasaan, karena sistem pemerintahan di Indonesia tidak menganut paham pemisahan kekuasaan.

Bebrapa paham pembagian kekuasaan yang sangat menonjol adalah faham dari John Locke, Montesquieu dan van Vollenhoven.

Pembagian kekuasaan negara menurut John Locke
 John Locke dituangkan dalam bukunya yang berjudul two treaties of government. Dalam teori tersebut dikemukakan bahwa kekuasaan negara hendaknya dibagi ke dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif yang masing-masing terpisah satu dari yang lain.

Kekuasaan legislatif meliputi kekuasaan membuat peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan peraturan serta mengadili perkara dan kekuasaan federatif meliputi segala sesuatu yang tidak termasuk ke dalam kedua kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Hubungan dengan luar negeri termasuk kekuasaan federatif.

Teori pembagian kekuasaan negara John Locke ini lahir terlebih dahulu dari teori trias politika Montesquieu. Namun karena teori ini lebih banyak dipengaruhi oleh pandangan Locke trehadap negaranya sendiri yakni Inggris yang pada saat itu memiliki banyak koloni, maka teori ini hanya berlaku di Inggris dan tidak terlalu mempengaruhi negara-negara lain.
 Pembagian kekuasaan negara menurut Montesquieu
Di dalam bukunya L’Espirit des Lois, Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. Berbeda dengan Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, maka Montesquieu memasukkan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan tersendiri.

Hal ini disebabkan karena pakerjaan Montesquieu sehari-hari yang sebagai seorang hakim sehingga ia mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif tersebut berbeda dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya, kekuasaan hubungan luar negeri yang menurut John Locke adalah kekuasaan federatif dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif.

Montesquieu adalah seorang bangsawan bergelar “Baron” tetapi sangat menentang kekuasaan absolut raja-raja Perancis. Raja-raja absolut di Perancis beranggapan bahwa raja adalah “tetesan ilahi”. Dasarnya ialah teori teokrasi lama yang beranggapan bahwa kekuasaan raja itu diperoleh langsung dari Tuhan. Sebagai seorang hakim, keputusannya sewenang-wenang bisa dibatalkan oleh seorang raja. Pengalaman pahit tersebut membuat Montesquieu berpikir bahwa sudah seharusnya ada pembagian kekuasaan.
Pembagian kekuasaan negara menurut van Vollenhoven
Menurut van Vollenhoven, kekuasaan negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang oleh Wongsonegoro dipergunakan istilah “caturpraja” yaitu Bestuurrecht ( Hukum Keprajaan ), Politierecht ( Hukum Kepolisian ), Justitierecht ( Hukum Peradilan ), dan Regelaarsrecht ( Hukum Perundang-Undangan ).

Bestuur, oleh van Vollenhoven harus disebut pertama dan harus diutamakan, karena bestuur itu dalam suatu negara moderen mempunyai  tugas yang lebih luas dari pada hanya melaksanakan undang-undang saja. Tugas bestuur pada zaman sekarang dalam suatu negara moderen meliputi meyelenggarakan segala sesuatu yang tidak termasuk mempertahankan ketertiban hukum secara preventif, mengadili atau membuat peraturan, karena pemerintahan moderen turut secara aktif dalam pergaulan sosial.

Fungsi polisi, yaitu untuk memaksa penduduk suatu wilayah untuk menaati ketertiban hukum serta mengadakan penjagaan sebelumnya ( preventif ) supaya tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Fungsi berikut yang juga penting adalah membuat peraturan, hal ini tidak mengherankan karena akselerasi perkembangan negara moderen telah memperlihatkan bahwa justru pekerjaan pembuat peraturan perundang-undangan bukanlah pekerjaan terpenting pemerintah negara moderen tersebut, namun pekerjaan ini harus membantu mempercepat proses perkembangan negara untuk mencapai tujuannya.
Demikianlah teori pembagian kekuasaan negara yang dikemukakan oleh para ahli terkemuka. Semoga bermanfaat.

Pengertian Kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif

Dalam suatu negara terdapat 3 macam kekuasaan, yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Yuk kita lihat masing-masing penegertian dari 3 macam kekuasaan tersebut.

Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang atau disebut dengan rule making function. Legislatif adalah badan deliberatif pemerintah dengan kekuasaan membuat hukum. Lembaga legislatif antara lain, parlemen, kongres dan asembli nasional. Pada sistem pemerintahan parlemen, legislatif adalah badan tertinggi dan mengangkat eksekutif. Pada sistem pemerintahan presidensial, legislatif adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya memiliki kekuasaan untuk menaikkan pajak, menetapkan budget dan pengeluaran uang lainnya. Legislatif kadangkala melaksanakan perjanjian dan mendeklarasikan perang.

Kekuasaan Eksekutif

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang atau disebut dengan rule application function.

Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang atau disebut dengan rule adjudication function.
Ketiga pembagian kekuasaan dikenal dengan Trias Politica. Trias Politica adalah prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama. Tujuannya untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian, diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Ketiga kekuasaan itu pertama kali dikemukakan oleh Montesquieu (1689 - 1755).

Sumber :
Jurnal Ilmu Hukum Amanna gappa vol. 17 Nomor 2, Juni 2009 



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ISI PASAL 28A-28J UUD 1945 TENTANG HAM

HAKIKAT PANCASILA

WILAYAH NEGARA