PROSES TERJAJAHNYA KEMBALI INDONESIA SEJAK BULAN NOVEMBER 1967 (Artikel 1)
Oleh : Kwik Kian Gie
PENGANTAR
Boleh dikatakan bahwa secara menyeluruh, rakyat
dan para pemimpin masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa setelah 63 tahun
merdeka, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami kemerosotan
yang parah.
Maka untuk bahan perenungan apakah demikian
kondisinya, kami menyajikan kondisi dari 8 tonggak yang paling fundamental
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk ditanyakan kepada diri sendiri,
apakah dalam 8 aspek terpenting ini, kita mengalami kemajuan atau kemerosotan?
Delapan tonggak tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Kemandirian
Apakah kita dalam bidang kemandirian mengurus
diri sendiri, yaitu mandiri dan bebas merumuskan kebijakan-kebijakan terbaik
untuk diri sendiri, mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah de facto
yang membuat kebijakan dalam segala bidang bangsa kita sendiri atau bangsa lain
beserta lembaga-lembaga internasional?
Dari berbagai studi oleh para ahli sejarah, baik
dalam maupun luar negeri yang boleh dikatakan obyektif, sejak tahun 1967 kita
sudah tidak mandiri. Ketidakmandirian kita sudah mencapai puncak setelah kita
dilanda krisis pada tahun 1997. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas
setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan
Pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam country strategy report
yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta segala sesuatu
yang didiktekan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of
Economic and Financial Policies (MEFP), yang lebih dikenal dengan sebutan Letter
of Intent.
Bagaimana dampaknya? Buat mayoritas rakyat
Indonesia sangat merusak, bahkan dapat dikatakan sudah membangkrutkan keuangan
negara.
2. Peradaban dan Kebudayaan
Terutama dalam bidang tata nilai, mental,
moralitas dan akhlak, apakah setelah 63 tahun merdeka dari penjajahan kita
lebih maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu
mengatakan bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita? Benarkah kalau sekarang
dikatakan bahwa KKN sudah “mendarah daging” dan merupakan gaya hidup bagian terbanyak
elite bangsa kita? Benarkah peringkat yang diberikan oleh lembaga asing bahwa
Indonesia digolongkan dalam kelompok negara-negara yang paling korup di dunia?
3. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
Apakah setelah 60 tahun merdeka, bangsa kita unggul?
Dibandingkan dengan zaman penjajahan, kemampuan kita menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa-bangsa lain memang boleh
dikatakan cukup up to date. Tetapi, yang dimaksud apakah ilmu
pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya ciptaan bangsa
kita sendiri? Ataukah harus membelinya dengan harga sangat mahal dari
bangsa-bangsa lain?
4. Persatuan dan Kesatuan
Apakah bangsa kita lebih kokoh atau lebih rapuh?
Referensi yang dapat kita gunakan adalah Amandemen UUD 1945. Bentuk dan praktik
otonomi daerah, baik dalam bidang pengelolaan administrasi negara maupun dalam
bidang keuangannya. Gerakan Aceh Merdeka berserta cara penanganannya. Aktifnya
Gerakan Papua Merdeka di dunia internasional. Konflik antar etnis dan antar
agama yang cukup keras, walaupun belum terjadi di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Hilangnya Sipadan dan Ligitan. Digugatnya Ambalat. Terancamnya Aceh
dan Irian Barat lepas dari NKRI. Saya kira sangat mundur dan menjadi sangat
rapuh.
5. Hankam
Apakah kondisi kita semakin kuat atau semakin
lemah? Referensinya adalah persenjataan dan alat-alat perang yang kita miliki,
dikaitkan dengan kemampuan serta prospeknya untuk membangun dan mengembangkan
industri pertahanan sendiri. Referensi non materiilnya, apakah dengan reformasi
yang memisahkan fungsi Polri dan TNI dalam bentuknya seperti sekarang ini
membuat ketahanan nasional lebih mantap atau lebih rapuh?
6. Interaksi dan kedudukan kita di dunia
Internasional
Dalam pergaulan antar bangsa dan kedudukan kita
dalam organisasi-organisasi internasional, apakah bangsa kita mempunyai tempat
dan kedudukan yang lebih terhormat atau lebih terpuruk?
Pemberitaan dan ulasan di pers internasional
menempatkan Indonesia sebagai negara yang dalam banyak aspek sebagai negara
bangsa yang terbelakang dan kurang terhormat.
7. Kemakmuran dan Kesejahteraan yang
Berkeadilan
Tidak dapat disangkal bahwa pendapatan nasional
per kapita meningkat sejak kemerdekaan hingga sekarang. Namun seperti
diketahui, pendapatan nasional per kapita tidak mencerminkan pemerataan maupun
keadilan dalam menikmatinya.
Angka-angka dari berbagai sumber menggambarkan
betapa timpangnya antara kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara
perusahaan besar dan kecil.
8. Keuangan Negara
Keterbatasan infrastruktur, pendidikan, pelayanan
kesehatan, penyediaan public utility oleh pemerintah jelas disebabkan
oleh keuangan negara yang sangat terbatas, karena korupsi dan beban utang yang
sangat besar.
KEMEROSOTAN, MALAISE
ATAU MELT DOWN
Dalam berbagai seminar dan pertemuan-pertemuan
diskusi, bahkan dalam perbincangan sehari-hari di mana-mana, pada umumnya orang
berpendapat bahwa dalam 8 bidang fundamental tersebut kita mengalami
kemerosotan yang parah.
Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, gejala
seperti yang sedang dialami oleh bangsa kita juga pernah dialami oleh
bangsa-bangsa lain. Karena faktor-faktor yang tidak selalu sama, dalam kurun
waktu tertentu yang bisa panjang atau pendek, sebuah bangsa dapat mengalami
kemerosotan dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan. Gejala seperti ini
disebut malaise atau melt down. Karena faktor-faktor yang
juga tidak sama buat setiap bangsa, banyak bangsa yang mencapai titik
kemerosotan yang terendah atau titik balik, yang disebut pencerahan atau aufklarung.
Titik balik ini diikuti dengan awal masa jaya dalam segala bidang, yang disebut
rennaisance.
PERAN EKONOMI
Kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut
sangat banyak aspek, karena praktis menyangkut semua aspek kehidupan manusia.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi memegang peran penting
dalam membawa keseluruhan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan yang
berkeadilan.
Kehidupan ekonomi suatu bangsa tidak dapat
dipisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya yang non materi sifatnya.
Keduanya atau bahkan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saling
berkaitan secara interdependen.
Salah satu faktor yang dapat merusak kehidupan
ekonomi suatu bangsa secara dahsyat ialah pengaruh interaksinya dengan
bangsa-bangsa lain, atau kekuatan-kekuatan yang ada di luar wilayah Indonesia
(eksternal).
Kita mengalami penjajahan berabad-abad lamanya
oleh Belanda yang diawali dengan “penjajahan” oleh sebuah perusahaan swasta,
yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kami menggunakan istilah
“penjajahan”, karena demikian menguntungkannya, VOC sangat kaya, sehingga
bagaikan negara mempunyai angkatan bersenjata sendiri yang memaksakan
kehendaknya pada para penguasa Nusantara ketika itu. Karena korupsi yang
terjadi dalam tubuh VOC, akhirnya bangkrut, dan penjajahan atas wilayah
Nederlands Indie diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Sekitar tahun empatpuluhan, banyak sekali
negara-negara yang terjajah berhasil mengusir negara-negara penjajah, menjadi
negara merdeka. Kita merebutnya kemerdekaan di tahun 1945.
Namun sejak dekade itu pula, langsung saja muncul
benih-benih penguasaan kebijakan dan kekayaan alam negara-negara yang lemah,
terbelakang dan tidak berpendidikan. Benih-benih dari kekuatan-kekuatan
tersebut sekarang telah menjadi sebuah kekuatan raksasa yang dahsyat. Bentuknya
seperti VOC dahulu, yaitu perusahaan-perusahaan transnasional dan
multinasional. Mereka adalah business corporations. Maka era yang
sekarang merajalela disebut era corporatocracy. Para ahli Amerika
Serikat dan Eropa Barat sendiri yang sangat banyak menggambarkan kekuatan dan
kejahatan mereka terhadap bangsa-bangsa lebih lemah yang dijadikan mangsanya
dalam penyedotan sumber-sumber daya apa saja, terutama sumber daya mineral.
Pembaca serial artikel ini dipersilakan membacanya sendiri. Yang jelas dan
meyakinkan adalah Joseph Stiglitz, John Pilger, Jeffrey Winters, Bradley
Simpson, John Perkins, dan 12 perusak ekonomi yang atas prakarsa John Perkins
mengaku kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Kesemuanya dituangkan
dalam buku paling mutakhir (2006) yang dikumpulkan dan di-edit oleh Steven
Hiatt dengan kata pengantar oleh John Perkins. Judul bukunya “A Game As Old As
Empire”.
Dari kesemuanya ini dapat kita baca bahwa di
zaman setelah tidak ada negara jajahan lagi, perusahaan-perusahaan raksasa yang
transnasional itu bagaikan VOC dahulu. Tetapi sekarang mereka tidak perlu
melakukan penjajahan secara politik dan militer untuk menghisap kekayaan dari
negara-negara dan bangsa-bangsa mangsanya. Cara-cara demikian sangat mahal, dan
dapatnya tidak seberapa dibandingkan dengan cara-cara mereka sekarang ini.
Cara-cara mereka sekarang hanya perlu memelihara
elit bangsa-bangsa mangsa, yang adalah elit bangsa yang secara politik dan
secara formal negara merdeka dan berdaulat. Tetapi karena kekuasaan elit para
anteknya ini, yang secara material maupun secara konsepsional didukung oleh corporatocracy
global, pendiktean mereka dan penghisapan kekayaan alam serta tenaga manusianya
menjadi sangat dahsyat dan mutlak. Di luar negara-negara mangsa, corporatocracy
didukung oleh pemerintahnya masing-masing yang menguasai lembaga-lembaga
internasional seperti Bank Dunia, IMF dan Bank Pembangunan Asia.
Bagaimana asal mulanya bangsa kita terjajah
kembali sejak tahun 1967 sampai sekarang akan diceriterakan dalam serial artikel
ini.
MULAINYA PENJAJAHAN KEMBALI SAMPAI
SEKARANG
Setelah jatuhnya Bung Karno, segera saja kekuatan
modal asing yang dipakai untuk melakukan eksploitasi atau korporatokrasi
melakukan aksinya. Yang menggambarkan dengan tajam justru para sarjana ekonomi
dan sejarawan Amerika dan Eropa.
Marilah kita kutip berbagai gambaran sebagai
berikut.
Seorang wartawan terkemuka berkewarganegaraan
Australia yang bermukim di Inggris, John Pilger membuat film dokumenter tentang
Indonesia dan juga telah dibukukan dengan judul : “The New Rulers of the
World”. Dua orang lainnya adalah Prof. Jeffrey Winters, guru besar di
North Western University, Chicago dan Dr. Bradley Simpson yang meraih gelar
Ph.D. dengan Prof. Jeffrey Winters sebagai promotornya dan Indonesia sebagai obyek
penelitiannya. Yang satu berkaitan dengan yang lainnya, karena beberapa bagian
penting dari buku John Pilger mengutip temuan-temuannya Jeffrey Winters dan
Brad Simpson.
Sebelum mengutip hal-hal yang berkaitan dengan
Indonesia, saya kutip pendapatnya John Pilger tentang Kartel Internasional
dalam penghisapannya terhadap negara-negara miskin. Saya kutip :
“Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian
terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang
canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program
penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan
antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah “nation
building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang
mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada
dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan
AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di
negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum
terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari
kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang
kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat
manusia.”
Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat
relevan dan krusial, yaitu yang berbunyi:
“Their power derives
largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries….”
atau “Kekuatan negara-negara penghisap didasarkan atas utang besar yang tidak
mampu dibayar oleh negara-negara target penghisapan.”
John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan
wawancara dengan Jeffrey Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam
bukunya yang berjudul “Power in Motion” dan Brad Simpson dalam
disertasinya mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia
Barat yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya menjadi
kadaluwarsa.
Saya kutip halaman 37 yang mengatakan : “Dalam
bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil
tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa
di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para
pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang
seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili :
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang
meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut
“ekonom-ekonom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the
Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa
dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di
Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang
diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual
dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang
melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi
Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang
spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University,
Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya,
Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya
ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain,
industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang
dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan
kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke
meja yang lain, mengatakan : “ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini”, dan
mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di
Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana
modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai
negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke
dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain)
dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah
konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian
terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika,
Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan
Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan
buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk
lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia
pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota
intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting,
Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.
Jadi kalau kita percaya John Pilger, Bradley
Simpson dan Jeffry Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered)
dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu
berkuasa.
Komentar
Posting Komentar